- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Cerita Rakyat Sumatera Barat: Legenda Malin Kundang
Sebuah cerita rakyat populer dari Sumatera Barat tentang seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu.
Ayu Bulantrisna Djelantik: Belajar Hidup Lewat Tari Legong
Mengenang Perjuangan Para Pembela Tanah Air di Museum PETA
Teberungun, Hidangan Langka yang Penuh Makna bagi Suku Tidung
Cerita rakyat Malin Kundang berasal dari provinsi Sumatera Barat, tepatnya di desa Air Manis. Diapit oleh Pulau Pisang Besar dan Pisang Kecil, Pantai Air Manis yang terletak di desa tersebut kini menjadi salah satu tujuan wisata populer di Padang.
Kisah Malin Kundang sangat populer, bahkan telah diadaptasi menjadi bentuk kesenian lainnya.
Kisah ini tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya, sehingga ia dikutuk menjadi batu. Kisah Malin Kundang sangat populer, bahkan telah diadaptasi menjadi bentuk kesenian lainnya. Dimulai dari drama berjudul Malin Kundang karya Wisran Hadi pada tahun 1978, sinetron dengan judul yang sama pada tahun 2005-2006, game daring rancangan IAIN Surakarta yang dirilis pada tahun 2016, hingga tema Musikal di Rumah Aja yang digarap Indonesia Kaya pada tahun 2020. Selain itu, kisah legendaris ini juga menginspirasi seniman Dasril Bayras dan Ibenzani Usman untuk membuat relief batu berupa pecahan kapal dan figur manusia yang menggambarkan Malin Kundang. Karya ini terletak di Pantai Air Manis dan telah menjadi objek wisata sejak tahun 1980-an.
Sebagai tokoh utama, Malin memiliki pengembangan karakter yang berhasil memukau pemirsa.
Cerita ini berpusat pada dua tokoh utama, Malin Kundang dan Ibu Mande. Sebagai tokoh utama, Malin memiliki pengembangan karakter yang berhasil memukau pemirsa. Bermula dari seorang anak yang patuh pada orang tuanya, Malin berubah drastis menjadi sosok yang sombong dan durhaka. Ibu Mande digambarkan sebagai seorang ibu yang sabar dan pekerja keras. Peran pendukung lainnya, seperti istri Malin dan orang-orang dari kehidupan barunya, digambarkan sebagai karakter netral meskipun tidak mengetahui kebenaran cerita Malin.
Simak kisah hidup Malin Kundang selengkapnya di bawah ini.
Ibu Mande Rubayah dan Malin Kundang
Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa nelayan di Air Manis, Sumatera Barat, hiduplah sebuah keluarga nelayan. Karena kebutuhan keuangan keluarga, sang ayah akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar negeri melintasi lautan.
Namun sang ayah tidak pernah kembali ke desa dan meninggalkan istrinya, Mande Rubayah. Sang istri kemudian membesarkan anak mereka, Malin, seorang diri. Oleh ibunya, Malin sering dibawa kemana-mana . Oleh karena itu, anak itu menerima nama baru, Malin Kundang.
Malin tumbuh menjadi anak yang cerdas, tetapi sedikit nakal. Malin sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari, ketika Malin sedang mengejar ayam, Malin terjatuh dan tangannya membentur batu. Luka itu meninggalkan bekas luka di lengannya.
Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, Malin terjatuh dan tangannya membentur sebuah batu yang dikenal dengan nama batu menangis . Luka itu meninggalkan bekas luka di lengannya.
Ketika dewasa, Malin merasa iba kepada ibunya yang harus berjuang keras menghidupi mereka, sehingga ia memutuskan untuk berlayar menggunakan kapal dagang. Saat dia menceritakan niatnya, ibunya tidak mengizinkan Malin pergi.
Ibu Mande tidak rela ditinggal oleh anak tunggalnya. Ibu Mande pun takut kalau-kalau Malin akan menjadi seperti ayahnya yang pergi dan tak pernah kembali ke desa.
Malin Kundang Bepergian dan Menjadi Sukses
Meski ditolak ibunya, Malin tidak berhenti membujuknya. Melihat kegigihan Malin, Ibu Mande pun mengizinkannya pergi meski dengan berat hati. Setelah meyakinkan ibunya bahwa dirinya akan baik-baik saja, Malin berpamitan dan meninggalkan Ibu Mande sendirian di desa.
Saat berlayar dalam perjalanannya, sebuah kejadian buruk menimpa kapal yang ditumpangi Malin sehingga ia terdampar di sebuah pantai. Penduduk desa di pantai menyambut dan membantu Malin untuk tinggal dan bekerja di sana.
Malin bekerja sangat rajin mengolah tanah desa yang subur dan semakin sukses. Malin memiliki 100 pekerja dan sejumlah kapal dagang miliknya sendiri. Setelah menjadi orang kaya, Malin menikah dengan anak seorang saudagar kaya.
Sementara itu, Ibu Mande tidak pernah mendengar kabar dari Malin setelah dia pergi. Selama bertahun-tahun, Ibu Mande hanya bisa memandang laut sambil berdoa agar putranya selamat dan dapat mengirim kabar, atau bahkan kembali ke desa.
Setiap kali ada kapal besar yang berlabuh di desa itu, Ibu Mande selalu bertanya kepada kapten dan awak kapal tentang anaknya. Namun, tidak seorang pun pernah membawa kabar atau pesan dari Malin.
Malin Kundang Kembali ke Kampung Halamannya
Suatu ketika Malin bersama istrinya dan beberapa awak kapal berlayar menggunakan sebuah kapal besar. Setelah berlayar beberapa saat, kapal berlabuh di sebuah pulau . Tanpa disadari, ternyata itu adalah kampung halaman Malin.
Melihat kapal besar yang berlabuh, warga desa, termasuk Ibu Mande beramai-ramai berkumpul di tepi pantai. Mereka ingin menyambut kapal yang dikira milik seorang sultan atau pangeran itu.
Dari kejauhan, terlihat sepasang pemuda dan pemudi berdiri di anjungan, mengenakan pakaian yang mewah. Ibu Mande melihat dan menyadari bahwa sang pemuda adalah Malin. Segera setelah kapal berlabuh dan kedua pemuda itu turun dari kapal, Ibu Mande berlari mendekati anaknya.
Dari dekat, Ibu Mande melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu adalah Malin. Ia kemudian memeluk Malin, sambil memanggil namanya dan bertanya tentang kabarnya.
Dari dekat, Ibu Mande melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu adalah Malin.
Malin Kundang Durhaka
Istri Malin yang berdiri di dekat Malin, terkejut melihat seorang wanita tua berpakaian compang-camping memeluk suaminya sambil mengaku sebagai ibunya. Maklum, selama ini Malin mengaku bahwa kedua orang tuanya adalah bangsawan dan sudah meninggal.
Istri Malin pun bertanya kepada Malin tentang siapa wanita itu sebenarnya. Karena malu kepada istrinya, Malin kemudian mendorong ibunya dan berkata kasar kepada Ibu Mande.
Malin tidak mengakuinya sebagai ibu dan mengatakan bahwa ibunya tidak seperti Ibu Mande yang kotor dan miskin. Setelah itu, Malin memerintahkan istri dan anak buahnya untuk bergegas kembali ke kapal untuk berlayar.
Malin Kundang Dikutuk Menjadi Batu
Ibu Mande yang sudah tua renta terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati sampai pingsan. Setelah akhirnya tersadar, Ibu Mande tinggal sendiri di pantai dan warga desa yang tadinya ramai sudah meninggalkannya. Ibu Mande juga melihat bahwa kapal Malin dan istrinya sudah berlayar jauh dari pantai. Sambil menangis, Ibu Mande berlutut sambil mengangkat tangan untuk berdoa kepada Tuhan.
Ibu Mande berdoa jika pemuda tadi bukan Malin Kundang, Ibu Mande memaafkan perbuatannya. Tapi, jika pemuda itu adalah benar Malin Kundang, maka Ibu Mande mengutuknya untuk menjadi sebuah batu.
Ibu Mande berdoa jika pemuda itu adalah benar Malin Kundang, maka Ibu Mande mengutuknya untuk menjadi sebuah batu.
Setelah Ibu Mande berdoa, langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan deras dan badai pun muncul. Kapal Malin yang sedang berlayar pun hancur berkeping-keping disambar petir.
Keesokan harinya ketika badai sudah reda, puing-puing kapal yang sudah berubah menjadi batu tersapu ombak ke suatu pulau. Di antara puing-puing yang terdampar di pantai, ada satu bongkahan batu yang berbentuk seperti tubuh manusia yang menunduk, beserta ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri yang berenang di sela-sela batu itu. ceritabaru
Masyarakat setempat mempercayai batu itu adalah tubuh Malin yang dikutuk berubah menjadi batu karena durhaka kepada ibunya, dan ikan-ikan di sekitarnya adalah serpihan tubuh istri Malin yang sedang mencari suaminya.
Pesan Moral Cerita Malin Kundang
Pelajaran utama yang terkandung dalam cerita Malin Kundang adalah bahwa seorang anak harus selalu menghormati orang tua yang membesarkannya. Selain itu, pelajaran lain yang dapat dipetik adalah kita harus selalu rendah hati dan tidak sombong dengan segala keberhasilan yang telah diraih.
Seorang anak harus selalu menghormati orang tua yang membesarkannya.
Terakhir, kita harus selalu jujur dalam tindakan kita. Sebab, kebohongan atau penipuan yang dilakukan pasti akan terungkap nantinya. Seperti halnya Malin yang berbohong tentang asal usul orang tuanya, hingga akhirnya menjadi tidak patuh karena malu dengan kebohongannya sendiri.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar